Perlukah Koruptor Dihukum Mati?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar muncul, mengingat setelah 13 tahun berada dalam era perubahan, reformasi dan keterbukaan, masih juga terjadi praktik-praktik kelabu atau bahkan gelap dalam proses penegakan hukum. Bahkan masih saja terjadi pelanggaran hukum pada saat proses penegakan hukum itu sendiri.
Kasus-kasus korupsi yang makin terbuka menunjukkan, betapa negara ini demikian parah digerogoti koruptor di berbagai jenjang. Jika pada era keterbukaan ini kasus-kasus korupsi demikian mencengangkan, apalagi pada saat bangsa kita diperintah rezim lama yang tertutup dan otoriter.
Saking muaknya terhadap penelikungan hukum, mucul wacana penerapan hukuman mati bagikoruptor. Usulan ini beberapa kali muncul dalam berbagai forum, termasuk pada diskusi bersama Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin, Sabtu (29/10).
Hukuman mati dalam tatanan hukum Indonesia, mengadopsi Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyebutkan pidana mati sebagai satu di antara bentuk pidana pokok dapat dijatuhkan kepada pelaku makar, membunuh kepala negara, hingga pembunuhan berencana.
Sedangkan untuk perbuatan kriminal di luar KUHP diatur dalam sejumlah UU, antara lain UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang penyalahgunaan narkotika. Setidaknya, 25 orang -- termasuk Ayodhya-- telah divonis mati atas dasar undang-undang ini.
Hukuman mati, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Inilah yang memungkinkan hakim menjatuhkan vonis mati bagi para terpidana dalam kasus bom bali, misalnya.
Sedangkan bagi koruptor, ada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga mencantumkan piadana mati. Namun sejauh ini belum ada satu pun terdakwa kasus korupsi yang divonis mati, apalagi sampai dieksekusi.
Di mata Denny Indrayana, hukuman mati bukanlah solusi tepat untuk memberantas korupsi. Dia lebih memilih penguatan sistem hukum dan lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Dia mengambil contoh, Cina yang kono menerapkan hukuman mati bagi koruptor, ternyata tidak efektif. Hal itu terlihat dari perbandingan eksekusi mati dengan jumlah perkara korupsi yang terus mewarnai pemerintahan di Cina. Bahkan dalam beberapa kasus, tudingan korupsi sampai vonis mati itu dipergunakan untuk menghabisi lawan politik.
Upaya yang dilakukan pemerintah sudah memperlihatkan peningkatan dibanding sebelumnya.
Adalah menarik pula mempertimbangkan wacana penjatuhan hukuman sosial terhadap parakoruptor itu. Selain hukuman denda yang anmat besar --untuk memiskinkannya,para koruptorjuga perlu dijatuhi sanksi moral dan sosial. Memperlakukannya sama dengan kaum kriminal lain, dan membeinya tamgahan hukuman badan semisal kerja paksa di tempat publik.
Dalam beberapa kasus, yang tampak di tanah air kita ini justru sebaliknya. Kadang justru aparat hukum yang merasa terancam saat menjalankan tugasnya secara benar.
Akibatnya proses penegakan hukum seringkali jadi sangat buruk, karena ujung-ujungnya berarti pembengkokan aturan hukum, atau penyiasatan atas ketentuan-ketentuan hukum.
Dalam kasus-kasus tertentu, penyidikan, penuntutan dan keputusan pengadilan hingga tata cara advokasi dalam suatu tindak pidana, justru seperti merupakan tindak pidana baru yang secara sadar dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum, termasuk aparat hukumnya.
Semangat untuk menegakkan hukum tidak akan banyak artinya tanpa dukungan segenap pihak terkait. Dan, dukungan ini pun tak akan efektif tanpa sokongan politis dari negara. Law enforcement tak bisa dilakukan bila negara tidak terlibat langsung.
Keterlibatan negara dalam memberantas praktek-praktek pembengkokan hukum akan lebih efektif jika seluruh pimpinan nasional punya komitmen kuat --bukan sebatas retorika belaka-- pula atas tegaknya hukum-Perlukah Koruptor Dihukum Mati?