Resiko bagi Wirausaha/Wirausahawan
Seiring dengan perkembangan usaha yang biasanya diikuti
dengan perubahan gaya manajemen, maka pada saat yang sama para
wirausahawan dihadapkan pada berbagai risiko. Bagi sebagian wirausahawan yang
memiliki keberanian dan kematangan berpikir risiko-risiko tersebut mungkin
sudah diantisipasi dan dapat dilalui dengan baik. Namun bagi sebagian
wirausahawan yang lain, risiko yang harus dihadapi dalam pengembangan usahanya
bisa jadi dirasakan terlalu berat dan penuh ketidakpastian sehingga mereka
lebih memilih untuk mempertahankan status quo.
A. Risiko Riil
& Psikologis
Pada dasarnya ada dua risiko yang dihadapi oleh para wirausahawan
ketika diberikan kesempatan untuk mengembangkan usahanya. Kedua risiko tersebut
adalah:
Risiko
Riil, adalah risiko yang terlihat, bisa dihitung, bisa diantisipasi dan bisa
dihindari. Termasuk dalam risiko ini
adalah:
1. Kehilangan
modal baik yang sudah ditanam dan akan ditanamkan ke dalam perusahaan
2.
Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, di masa sekarang
ataupun masa depan
3.
Kehilangan mata pencaharian untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
4.
Kehilangan kendali atas kekuasaan yang selama ini dimilikinya (decision-making)
karena ada pengalihan gaya bisnis keluarga menjadi gaya bisnis profesional
Risiko Psikologis, adalah risiko yang tidak terlihat,
tidak bisa dihitung, bisa diantisipasi, tetapi belum tentu bisa dihindarkan. Termasuk
dalam risiko ini adalah:
1.
Kehilangan reputasi (hilang muka, nama besar, citra, dsb) dan risiko
menanggung malu
2.
Kehilangan kepercayaan – pada diri sendiri dan pada orang lain (Menjadi paranoid
atau blind-dependency)
3.
Kehilangan perasaan “potent” atau mampu yang akan menyebabkan
hilangnya rasa percaya diri
4.
Kehilangan jatidiri (terutama bagi mereka yang sudah menganggap keberadaan
perusahaan sebagai keberadaan dirinya sendiri)
5.
Kehilangan
motivasi untuk berjuang
B. Alasan
Dari keempat risiko riil yang
dihadapi oleh seorang wirausahawan seperti yang disebutkan di atas, risiko yang
seringkali terlewatkan dan tidak dipertimbangkan secara mendalam adalah risiko
terakhir, yaitu kehilangan kendali atau kekuasaan karena perubahan gaya bisnis keluarga ke gaya bisnis profesional. Banyak wirausahawan yang menganggap hal ini
bukan sebuah risiko yang harus dipertimbangkan dan tetap memaksakan untuk
mempertahankan gaya
bisnis lama ke dalam perusahaannya.
Kenyataannya, gaya
ini seringkali tidak bertahan lama dan mungkin akan membawa kerugian lain
(kehilangan kesempatan). Di lain pihak penerapan gaya bisnis tersebut justru membuat para
profesional tidak dapat memberikan kemampuan terbaik yang mereka miliki.
Dampak utama dari pengabaian
resiko tersebut adalah perusahaan yang lamban berkembang dan sumberdaya yang
ada menjadi tidak efisien. Revenue
perusahaan tetap tetapi cost menjadi lebih tinggi karena adanya
investasi baru dan menyebabkan menurunnya keuntungan. Selain itu, para pekerja menjadi bingung
karena banyak keputusan yang ambivalen dan tidak jelas arahnya sesuai dengan
kebingungan dan ketidak-jelasan sikap wirausahawan. Ibaratnya, perusahaan
menjadi sebuah mobil mewah dengan kapasitas 4000 cc dengan harga beli miliaran
tetapi hanya bisa digunakan beberapa kali saja saat liburan karena beban biaya
untuk digunakan di Jakarta ketika jam bubaran kantor di tengah hujan rintik
sangat tinggi. Akibatnya, si pemilik
akan mengencangkan ikat pinggang dan berusaha menekan pengeluaran lain, biasanya
pengeluaran variabel, seperti gaji, fasilitas, dan logistik demi mempertahankan
cash-flownya. Keuntungan akan menjadi kerugian dan pemilik akan merasa
kelelahan sendiri karena bekerja lebih keras hanya untuk menutupi biaya yang
bertambah besar itu.
Mengapa begitu sulit bagi
seorang wirausahawan menyerahkan kendali perusahaan kepada para profesionalnya?
Jawabnya adalah karena banyak diantara mereka merasa frustrasi dengan
para profesional yang seringkali bersikap arogan dan tidak nyambung dengan
kebutuhan, visi dan misi si wirausahawan. Frustrasi para pemilik ini lalu
dilontarkan sebagai keluhan bahwa mencari manajer atau orang yang tepat sangat
sulit, apalagi mencari orang yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Coba kita dengar keluhan umum para pengusaha
yang antara lain:
·
“Kita bukannya
tidak mau memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada para profesional tetapi
tolonglah carikan orang yang tepat. Kita sering kecewa dengan para manager
kita”
·
“Ah, sulit
untuk berbisnis besar di Indonesia
karena kualitas sumberdaya manusianya begitu rendah sehingga tidak mungkin
produktivitas itu tinggi”
·
“Yang paling
bikin susah punya bisnis di Indonesia
adalah urusan ketenaga-kerjaan; susah sekali mengatur orang, sudah malas,
bodoh, tidak mau mengerti, bisanya hanya menuntut, dan harus diatur dengan
keras karena seringkali diberi hati malah minta ampela”
Keluhan di atas sangat umum dan
mungkin sudah sangat sering kita dengar, tetapi apakah kenyataannya benar
demikian???
C. Langkah Pencegahan
Keluhan-keluhan seperti yang
disebutkan di atas seharusnya tidak perlu terjadi jika para wirausahawan sudah
mempersiapkan infrastruktur sumber daya manusia sejak keputusan pengembangan
perusahaan dibuat. Seperti halnya
dalam perencanaan keuangan, sumberdaya ini harus dibuat secara rinci dan jelas
mengikuti rencana pengembangan perusahaan.
Hal-hal yang harus dipikirkan adalah arah pengembangan perusahaan, ruang
lingkup & fungsi SDM yang dibutuhkan (manager lini atau eksekutif puncak),
kualitas yang sesuai dengan visi dan keadaan perusahaan, wewenang & tanggung
jawab yang dia akan miliki, jenis kepribadian yang sesuai dengan perusahaan dan
wirausahawan, dsb.
Dalam
kenyataannya, perencanaan SDM ini jarang dilakukan oleh para wirausahawan
bahkan seringkali dilupakan. Hal yang lebih sering terjadi adalah SDM baru
dicari dan direkut ketika kebutuhan untuk itu sudah sangat mendesak, sehingga
proses pencarian profesional seringkali
tidak efektif, karena dilakukan tergesa-gesa dan tanpa perencanaan yang
matang. Penempatan para profesional di dalam perusahaan menjadi proses
“tambal sulam”. Akibatnya, pembajakan
terhadap tenaga profesional sering terjadi, padahal belum tentu profesional
hasil bajakan tersebut tepat dengan kebutuhan perusahaan, mengingat kondisi dan
iklim kerja yang berbeda.